Menyibak Tabir Isra Mikraj: Antara Spiritualitas, Sains Kuantum, dan Ayat-ayat Semesta

Jakarta 08 Februari 2025– Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, sebuah diskusi ilmiah menarik perhatian para cendekiawan dan akademisi. Prof. Laode, seorang pemikir terkemuka, mengangkat tema krusial mengenai Isra Mikraj, perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW yang sarat makna. Diskusi ini tidak hanya membahas aspek teologis, tetapi juga mengaitkannya dengan ilmu fisika kuantum serta ayat-ayat Qauniyah dan Kauliyah, yang masing-masing berbicara tentang fenomena alam dan wahyu ilahi.
“Dakwah bil hal harus berbasis Al-Qur’an dan diimplementasikan dalam kehidupan,” tegas Prof. Laode, mengutip pemikiran Ibn Taymiyah yang menekankan keseimbangan antara ilmu dan amal. Ia menggambarkan pengalamannya tumbuh besar di Wakatobi, di mana laut menjadi cerminan ayat An-Nahl ayat 14, yang mengisahkan tentang ekologi dan keteraturan ciptaan Allah.
Prof. Laode menjelaskan bahwa Isra Mikraj dapat dikaji melalui kacamata fisika kuantum. Menurutnya, perjalanan Nabi Muhammad SAW tidak semata perjalanan fisik, tetapi juga mengandung dimensi spiritual yang mendalam. Ia menyoroti tahun ke-10 kenabian, saat Nabi Muhammad SAW menghadapi ujian berat dengan wafatnya Khadijah dan Abu Thalib, yang kemudian disusul dengan peristiwa Isra Mikraj sebagai hiburan dari Allah SWT.
“Dalam fisika kuantum, kita memahami bahwa materi dan energi saling berkaitan,” jelasnya. “Manusia terdiri dari 5.000 triliun sel, dan setiap sel memiliki energi listrik statis sebesar 1,4 volt. Total energi ini memungkinkan kita untuk berpikir dan beraktivitas. Hal ini relevan dengan pemahaman bahwa ada hubungan antara akal, qalbu, dan energi dalam tubuh manusia.”
Prof. Laode juga menyinggung kontribusi besar Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam matematika, fisika, kimia, dan geologi. Menurutnya, konsep angka nol yang menjadi fondasi logaritma dan sistem digital modern berasal dari peradaban Islam. Namun, ia menyayangkan bahwa banyak konsep ilmiah Islam yang diadopsi oleh ilmuwan Barat tanpa mengintegrasikan nilai-nilai spiritual yang menyertainya.
Sementara itu, Prof. Amin menambahkan bahwa pemahaman Isra Mikraj dalam Al-Qur’an mengandung makna yang sangat besar. Ia mengungkapkan bahwa dalam surat Al-Isra ayat 1, kata tasbih “Subhan” digunakan untuk menekankan kemahasucian Allah, karena peristiwa ini sulit diterima oleh akal manusia pada masanya.
“Dalam Al-Qur’an terdapat 116 surat, dan sekitar 8% surat diawali dengan tasbih,” jelas Prof. Amin. “Ini menunjukkan bahwa sebelum memahami suatu kejadian besar, kita harus terlebih dahulu mensucikan Allah dan memahami kebesaran-Nya.”
Prof. Amin juga menyoroti bahwa dalam tradisi Islam, Isra Mikraj menjadi pembeda antara orang yang beriman dan yang ragu. Ketika peristiwa ini diceritakan, Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung membenarkannya, yang menunjukkan bahwa keimanan harus disertai dengan keyakinan penuh terhadap wahyu Allah.
Prof. Euis menutup diskusi dengan menekankan bahwa umat Islam harus menyeimbangkan ilmu dunia dan akhirat. Menurutnya, di era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguous), santri dan generasi muda Islam harus berani beradaptasi dan menjadi yang terdepan dalam ilmu dan amal.
“Visi kita adalah menuju Indonesia Emas dan unggul,” ujarnya. “Santri dan umat Islam harus terus belajar, berinovasi, dan berkontribusi dalam ilmu pengetahuan serta kebaikan. Sebagaimana pesan Al-Qur’an, balaslah keburukan dengan kebaikan, dan jadilah manusia yang terus mencari ilmu dan berbuat baik.”
Diskusi ini memberikan wawasan mendalam bahwa peristiwa Isra Mikraj tidak hanya memiliki makna teologis, tetapi juga dapat dipahami melalui pendekatan ilmiah. Dengan menggabungkan ayat Qauniyah dan Kauliyah, umat Islam diharapkan mampu mengembangkan keilmuan tanpa meninggalkan nilai-nilai spiritual dalam Islam.

About The Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *