Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2018 Tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Berikut adalah Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia Tahun 2018 Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual

  1. MUI menyatakan keprihatinan mendalam atas makin meningkatnya kekerasan seksual di Indonesia. Laporan BPS SPHPN tahun 2016 menyatakan bahwa 1 dari 3 perempuan usia antara 15 -65 tahun di Indonesia mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka. Hasil kajian Komnas Perempuan terhadap 10 tahun Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan (CATAHU tahun 2001-2011) menyimpulkan rata-rata ada 35 orang menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya di Indonesia. Dalam 3 tahun terakhir (2015-2017) kekerasan seksual di tanah privat/personal meningkat ke peringkat kedua tertinggi setelah kekerasan fisik di mana incest merupakan kasus yang tertinggi (1.210 kasus tahun 2017). Kekerasan seksual yang terjadi di manapun – baik di ruang publik, di komunitas, di tempat kerja, maupun di rumah tangga – merupakan tindakan yang diharamkan oleh Islam dan bertentangan dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Realitas ini meniscayakan efektifitas hadirnya negara melalui berbagai instrumen untuk memberikan perlindungan kepada warganya dari kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, perlindungan, pembelaan, dan penindakan kepada pelaku, hingga pemulihan bagi korban, sesuai kaidah fiqhiyah “tasharruful imam ‘ala arra’iyyah manuthun bil mashlahah“.
  2. MUI memandang bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) idealnya menjadi instrumen untuk membangun individu, keluarga, masyarakat dan bangsa yang beradab, terlindungi dari ancaman kekerasan seksual, sekaligus terpenuhi hak-haknya untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan apabila menjadi korban. Untuk itu UU ini nantinya mesti bisa menjadi alat untuk menghilangkan  dharar dan dhirar kekerasan seksual mulai kerusakan dan keterpurukan fisik, psikis, mental, moral, sosial, spiritual hingga finansial bagi korban, degradasi kemanusiaan pelaku, rusaknya tatanan dan ketahanan keluarga, serta runtuhnya sendi-sendi keadaban bangsa.
  3. MUI berpandangan bahwa secara yuridis RUU P-KS ini dibutuhkan karena ada  kekosongan hukum terkait perlindungan negara terhadap korban dan belum komprehensifnya upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual, serta pidana tegas dan keras terhadap pelaku dan rehabilitasi bagi pelaku. KUHP hanya mengenal perkosaan dan pencabulan, dan tidak bisa menjangkau kekerasan seksual yang lain, seperti eksploitasi dan perbudakan seksual, aborsi paksa dan pemakaian paksa alat kontrasepsi, juga tidak menjangkau kekerasan seksual yang dilakukan tidak dengan anggota tubuh pelaku. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT hanya menjangkau kekerasan seksual dalam rumah tangga. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tentang Perlindungan Anak juga tidak menjangkau korban perempuan dan laki-laki dewasa. Di samping keterbatasan jangkauan ini, UU yang ada juga belum memberikan perhatian yang memadai pada pencegahan melalui keluarga, lembaga pendidikan, institusi agama dan lembaga lainnya, serta belum memberikan jaminan pemulihan pada korban.
  4. MUI melihat bahwa hal-hal sebagaimana disebutkan di atas sebagian besar telah diakomodir dalam draf RUU yang ada. Meskipun demikian, MUI perlu memberikan pandangan khusus terkait dengan draf RUU PKS yang ada untuk memastikan agar RUU ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, memperkuat ketahanan keluarga, dan menjadi instrumen membangan masyarakat dan bangsa yang lebih berkemanusiaan yang adil dan beradab. Beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses legislasi RUU ini adalah:
  5. Definisi kekerasan seksual perlu diubah dan disederhanakan, tidak menggunakan kata atau istilah yang sulit dipahami, multitafsir dan membuka peluang berkembangnya asumsi dan penafsiran yang tidak sesuai dengan semangat dasar pembentukan UU itu sendiri.
  6. Bentuk-bentuk kekerasan seksual perlu disederhanakan. Penjelasan tentang jenis-jenis kekerasan seksual harus dibuat jelas, mudah dipahami, dan tidak multitafsir. Kekerasan seksual yang diatur adalah yang nyata dan jelas bentuk dharar-nya, tidak ada kesumiran, dan diutamakan yang telah mudah dipahami masyarakat bahwa hal itu merupakan kekerasan dan kejahatan seksual. Pada saat yang sama norma-norma yang ada bisa dilaksanakan tanpa keraguan atau salah tafsir oleh aparat penegak hukum di lapangan.
  7. Definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual tidak mengkriminalisasi hubungan suami isteri yang tidak diharamkan oleh syariat agama. Bahwa definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual tidak mengkriminalisasi hubungan suami isteri yang tidak diharamkan oleh syariat agama.
  8. Pencegahan perlu mendapatkan perhatian yang besar baik oleh pemerintah maupun masyarakat, juga dunia usaha, dan selanjutnya dapat dijabarkan dalam bentuk kegiatan yang jelas serta mandat yang tegas kepada para pihak terkait agar UU ini bisa mencegah secara maksimal  kekerasan seksual.  Pencegahan harus memaksimalkan fungsi keluarga dan lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan agama. Edukasi dalam pencegahan perlu disampaikan juga dalam bahasa agama, selain bahasa hukum dan ilmu pengetahuan.
  9. Norma-norma pidana dalam UU ini harus dipastikan tidak menjerat korban, memberi peluang bebas kepada pelaku, atau mempidanakan orang yang dikondisikan dalam tekanan sehingga dipaksa menjadi pelaku (al-mukrah atau al-madhghuth).
  10. RUU ini harus memastikan tidak adanya norma-norma yang bisa dijadikan dalih pembenaran perilaku seks sejenis dan zina yang secara jelas dan tegas dilarang agama.

Rekomendasi

Peserta sidang menyetujui naskah yang ada dengan catatan sebagai berikut:

  1. Perlu dirumuskan definisi yang jelas dan tegas tentang kekerasan seksual sesuai dengan prinsip-prinsip syariah untuk disampaikan kepada DPR sebagai bahan penyempurnaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebelum disahkan;
  2. Pemerintah dan DPR agar mengutamakan aspek preventif terhadap hal-hal yang menimbulkan rangsangan seksual dan upaya pencegahannya, antara lain tentang berbusana yang menimbulkan peluang terjadinya tindak kekerasan seksual;
  3. Istilah kekerasan seksual diubah menjadi kejahatan seksual.

About The Author