Asuransi Syariah : Konsep Berbagi Risiko (risk sharing) dan Berbagi Manfaat (benefit sharing)

Oleh : Iim Qoimuddin., SE., M.Si., AAAIK., AIIS[1]


Bagi insan perasuransian, bagian awal sebelum mengupas lebih lanjut tentang asuransi, maka pembahasan tentang Risiko akan menjadi materi dasar yang disajikan. Setelah itu, umumnya dilanjutkan dengan beberapa metode penanganan risiko seperti avoid of risk/menghindari risiko, reduce of risk/mengurangi dampak kerugian, retain of risk/menahan/menerima risiko, hingga akhirnya pada upaya transfer of risk atau memindahkan/mengalihkan risiko. Konsep risk transfer ini lah yang digambarkan sebagai metode yang digunakan dalam konsep asuransi.

Penyampaian BAB atau materi risiko,  umum dijumpai pula pada hampir seluruh kurikulum atau silabus materi asuransi. Sebut saja misalnya beberapa materi yang dikeluarkan dalam modul sertifikasi profesi asuransi oleh AAMAI (Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia), sertifikasi keagenan oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), maupun materi sejenis yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi dan instansi lain yang memberikan materi asuransi.

Begitu pula dalam buku-buku rujukan tentang asuransi, termasuk di dalamnya Buku yang baru saja penulis luncurkan bersama Prof Amin Suma pada Desember 2020 lalu yang berjudul: “Asuransi Syariah di Indonesia (Telaah Teologis, Historis, Sosiologis, Yuridis, dan Futurologis)”  juga mengulas konsep risiko (dan musibah dalam terminologi Syariah) sebagai salah satu materi pengantarnya. Tidak hanya dalam modul dan atau buku-buku sebagaimana di sampaikan sebelumnya, pemaparan konsep risiko dan bahkan Contoh risiko juga sering disampaikan oleh para tenaga pemasar produk asuransi, termasuk agen-agen asuransi di dalamnya pada saat menjelaskan produk asuransi kepada calon tertanggung atau calon peserta (dalam konsep asuransi Syariah).

Sekedar mengingatkan kembali bahwa Risiko didefinisikan sebagai kerugian yang mungkin terjadi atas ketidakpastian (uncertainty of loss). Sementara musibah dapat didefinisikan sebagai kejadian yang tidak menyenangkan atau tidak mengenakan. Berdasarkan definisi bebas mengenai risiko dan musibah tersebut, maka dapat dipahami alasan utama penyampaikan risiko/musibah dijadikan sebagai ‘pengantar’ dalam menjelaskan konsep asuransi. Alasan yang dimaksud adalah bahwa kebutuhan asuransi muncul karena adanya potensi risiko/musibah yang mungkin menimpa sebagian atau mungkin semua orang.

Oleh karena hal di atas, maka dapat dimengerti pula bahwa sebagian besar tenaga pemasaran cenderung mengilustrasikan bentuk dan contoh risiko sebagai prolog saat memasarkan produk asuransi kepada calon tertanggung/peserta. Menurut pendapat penulis, hal ini  disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama, karena produk asuransi merupakan intangible product yang tidak bisa dilihat secara fisik layaknya produk berupa barang, maka informasi atas manfaat jasa akan lebih mudah apabila diawali dengan menggambarkan contoh yang memungkinkan calon peserta/tertanggung mendapatkan gambaran. Hal kedua, bisa jadi sebagian masyarakat akan lebih tersugesti (dalam hal positif) dan bahkan termotivasi untuk menjadi peserta/tertanggung asuransi ketika membayangkan apabila risiko tersebut menimpa dirinya. Tentu saja, insya Allah penyampaian demikian oleh sebagian oleh rekan-rekan tenaga pemasaran bukan dimaksudkan dalam rangka menyebar kekhawatiran terlebih ketakutan bagi calon peserta.

Risk Sharing dalam Asuransi Syariah

Berbeda dengan konsep risk transfer yang ada di dalam literasi asuransi konvensional sebagaimana disampaikan di atas, konsep yang diperkenalkan atau diterapkan oleh asuransi Syariah menggunakan metode risk sharing/sharing of risk atau berbagi risiko. Pembagian risiko tersebut berada di antara sesama peserta asuransi yang tergabung di dalamnya. Perbedaan ini bukan didasarkan pada upaya ‘membedakan’ secara istilah saja supaya terkesan berbeda. Namun karena memiliki perbedaan mendasar dari sisi padangan, konsep, dan aturan syariat yang oleh karenanya akan berbeda pula dalam sebagian aspek operasionalnya.

Sebagaimana diketahui, bahwa Konsep risk sharing dihadirkan untuk mengeliminir adanya aspek gharar (ketidakjelasan), maysir (gambling), dan riba. Gharar terjadi karena sifat dasar risiko yang belum pasti dan penuh ketidakjelasan, baik  dalam hal waktu terjadinya musibah, besar nya nilai kerugian, dan hal ketidakjelasan lainnya. Atas ketidakjelasan ini akan menimbulkan adanya spekulasi (gambling/maysir) dimana salah satu pihak akan diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan. Sebagai contoh apabila terjadi klaim, maka nasabah akan diuntungkan, sementara perusahaan asuransi yang semula sudah mencatatkan sebagai pendapatan premi menjadi hilang/berkurang akibat harus membayar klaim tersebut. Sementara riba berpotensi terjadi dalam hal penggunaan instrumen investasi atas dana premi yang di investasikan bukan pada instrument berbasis Syariah.

Melalui penggunakan konsep risk sharing, maka kontribusi (sebutan premi di asuransi Syariah), bentuknya adalah hibah (dana kebajikan) yang diniatkan untuk membantu di antara para peserta yang mengalami kerugian. Bentuk ini lah yang dimaksud dengan risk sharing, dimana sesama peserta saling ‘menanggung’ di antara pada peserta lainnya apabila salah satu perserta mengalami musibah. Penerapan ini disebabkan karena karakter dasr risiko yang sifatnya belum pasti tadi  dan masih bersifat spekulasi, maka konsepnya tidak lagi membayar (membeli polis), tetapi kontribusi tersebut berupa hibah (bantuan dana kebajikan) yang dilakukan dalam akad tabarru atau akad yang sifatnya tidak mengandung unsur mencari keuntungan. Melalui hibah ini lah, maka gharar dan maysir menjadi tereliminir karena konteks dari hibah tersebut diberikan secara sukarela/ikhlas untuk membantu  sesama peserta tersebut kapanpun, dimanapun, dan berapapun sesuai dengan syarat dan ketentuan yang disepakati sesama anggota dalam kontrak polis.

Sementara perusahaan asuransi memperoleh imbal jasa (ujroh) atas jasa nya mengelola kontribusi milik peserta tersebut dalam hal menggunakan akad wakalah bil ujroh, atau bisa juga berupa bagi hasil dalam hal menggunakan akad mudharabah atau musyarakah dimana perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola investasi atas dana kontribusi (dan atau dana saving jika ada) milik para peserta.

Benefit Sharing

Kembali kepada konsep menawarkan produk asuransi di atas melalui penggambaran risiko yang ditujukan kepada diri pribadi calon peserta, misalkan potensi mobilnya mengalami kehilangan, potensi menderita sakit, dan beragam jenis risiko pribadi lainnya, penulis mengajak dan mencoba kembali mensosiliasikan/mengembalikan kepada konsep awal dan dasar dari asuransi Syariah.

Dalam literatur fikih (hukum) Islam, asuransi (syariah) bisa dan biasa disebut dengan beberapa istilah teknis, yaitu (1) takmin (al-ta’min)= aman, tenang, dan tenteram (2) tadamun(al-tadhamun)= solidaritas, saling menanggung hak/kewajiban yang berbalasan atau berimbalan (3)taahud/ istikhad (al-ta’ahud/al-isti’had) = saling berjanji atau perjanjian untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dan (4) takaful (al-takaful) = pertanggungan yang berbalasan; atau saling menanggung. Intinya, asuransi syariah dalam istilah fikih/hukum Islam bisa disebut dengan taahud/ istikhad, takmin, tadhamun,atau terutama takaful.

Demikian pula merujuk kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) No. 21/DSN-MUI/X/2001 yang menyebutkan  â€œAsuransi Syariah (ta’awun, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan Syariah.

Ditambah lagi dengan petikan ayat al-Qur’an yang biasa digunakan sebagai salah satu rujukan atau landasan konsep asuransi syariah, sebagaimana dalam surat Al Maidah ayat 2 ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…..” (Q.S Al Maidah ayat 2).

Berdasarkan kerangka dasar konsep taawun (tolong menolong) dan takaful (saling menanggung) di atas, maka seyogjanya hakikat sharing ini adalah berbagi manfaat kebajikan, bantuan, santunan, pertolongan, penggantian,  dan sejenisnya yang memberikan kebahagian, ketenangan, dan keberkahan, baik bagi penerima maupun pemberi yang keduanya adalah sama-sama berikrar sebagai Peserta (sekaligus penanggung) dalam kontrak asuransi syariah. Peserta penerima yang kebetulan mengalami musibah mendapatkan manfaat atas ikrar peserta lainnya, dan peserta pemberi pun mendapatkan kebahagian karena dana hibah ’kontribusi” nya tersebut bermanfaat untuk orang lain.  

Upaya penulis ‘menset-back’ dan me remind konsep Taawun sebagai dasar asuransi Syariah ini, bukan berarti pendekatan berdasarkan persiapan diri atas risiko tersebut menjadi salah atau tidak tepat. Akan tetapi selain memposisikan ‘kembali’ konsep dasar asuransi Syariah pada semangat nya, tentunya menurut hemat penulis akan sesuai dengan perubahan dinamika di sebagian besar masyarakat Indonesia yang saat ini ‘kembali’ mengarah pada aspek sosial, kebersamaan, dan kepedulian di antara sesama.

Sebagai contoh, dalam konsep saling membantu (ber ta’awun) di luar konteks asuransi, dapat terlihat dengan makin maraknya penggalangan dana donasi kebajikan, baik secara online maupun manual untuk kepentingan kemanusian, kesehatan, pendidikan, dan sosial lainnya. Perubahan arah ini menunjukan arah positif dan bangkitnya nilai-nilai kesadaran masyarakat akan pentingnya saling berbagi, saling membantu, dan saling peduli. Oleh karenanya, asuransi Syariah yang sudah menggagas konsep saling berbagi, saling membantu, saling melindungi ini harus semakin mengedepankan aspek ini sebagai ‘keunggulan’ pemasaran dan mengemas konsep ta’awun sebagai upaya sosialiasi, edukasi, dan membangun kesadaran masyarakat.

Keunggulan yang dimaksud adalah bagaimana konsep asuransi dalam menggunakan pendekatan aktuaris, statistik, matematik, kesehatan, teknik, dan beragam keilmuan lainnya bergantung kepada jenis dan klasifikasi produknya. Melalui perhitungan statistik misalnya, pola asuransi digunakan untuk mengkalkulasi besarnya kontribusi sehingga memungkinkan kecukupan akumulasi dana tersebut dalam mengantiipasi besarnya kerugian finansial yang terjadi. Di sisi lain, melalui pengelolaan yang professional, distribusi bantuan, santunan, dan manfaat lainnya dapat menjangkau secara luas baik nasional maupun internasional.  

Mari tingkatkan kepedulian, melalui saling berbagi, saling membantu, saling menebar manfaat, dan saling berbagi kebahagian melalui Asuransi Syariah.

Berbagi risiko untuk berbagi manfaat dan kebahagian. Sharing risk for sharing benefit and sharing happiness

[1] Penulis adalah Kepala Divisi Syariah/Kepala Unit Syariah PT Asuransi Adira Dinamika, tbk; Bendahara Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), dan Pengurus Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI).

About The Author